Monday, February 28, 2005

Menyeberang Laut

Kali ini gue mengalami perjalanan terbang di malam hari untuk yg pertama kalinya. Dengan nomor penerbangan GA 634, kloter 2 FremantleMedia berangkat jam 18.00 dari BSH, menyeberang laut menuju Makassar. Kebetulan duduk di bangku tengah, gue tidak bisa melongok lebih jauh keluar jendela. Matahari senja sebenarnya masih menerangi pemandangan kota Jakarta dari atas namun beriringan dengan pudarnya cahaya, lampu-lampu bangunan, jalan dan mobil mulai menyala. Hmm, begini rasanya terbang malam, perjalanan lebih terasa santai dan tenang.

Image hosted by Photobucket.com
Makassar Straits ( Indonesia), 1999, sepia toned silver print, 7 x 7, www.davidchalliday.com

Sekitar 140 menit kemudian, gue tiba di Makassar. Waktu berlalu satu jam lebih cepat dari Jakarta, jadi sekarang jam 21.20 WITA. Udara panas langsung menyerbu, padahal kata pilotnya sesaat sebelum mendarat, udara di Makassar bersuhu 26 derajat Celcius. Uh, keringat langsung mengalir dan rasanya badan lengket habis, nggak nyaman sama sekali. Untungnya, gue nggak perlu berlama-lama di bandara ini karena setelah mengambil bagasi,Image hosted by Photobucket.com rombongan langsung menuju Marranu Hotel, tempat menginap sekaligus kerja nanti.

Perjalanan menuju hotel menyisakan kenangan tersendiri buat gue. Nyaris lima tahun yg lalu, gue pernah melawat ke kota ini. Saat itu gue masih bekerja untuk Masima Radionet dan sedang menggarap kegiatan off-air Rejoice Shampoo. Jalan dan beberapa wilayah kota nampaknya sudah jauh lebih berkembang namun gue masih bisa merasakan dan mengenali beberapa tempat yg pernah gue lalui kemarin. Pelabuhan, beberapa bangunan lama seperti balaikota dan gedung kesenian, ruas jalan yg pernah dilewati, membawa gue ke lorong waktu saat Pak Hamid menemani gue berkeliling di kota ini. I like this city, and thank you God, for bringing me here again!

Friday, February 25, 2005

Lagi-lagi Mati Gaya

Pulang dari Bandung nggak seru kalau nggak bawa buah tangan, kata orang. Dan buah tangan gue dari sini, tepatnya beli di M&M Juanda, mug dan kotak kecil bermotif jerapah plus rollcake dari toko Bawean. Bukan cuma gue yg menenteng oleh-oleh tapi juga Alett, Andri, Deva Marco dan Budi.

Pulang dengan bus berkapasitas 24 penumpang untuk 10 orang - satu orang RCTI, Edfar namanya, rasanya melegakan. Biarpun busnya kecil dan sempit, kami bisa berpindah-pindah duduk dengan leluasa. Yah, paling nggak ada beda-beda pemandanganlah dari bangku yg berbeda. Image hosted by Photobucket.com

Pulang dari Bandung ternyata nggak kalah mati gayanya dari perjalanan berangkat kemarin. Kali ini ada pemeriksaan polisi, truk kontainer yg tergelincir dan pekerjaan jalan tol yg bikin jalur jalan tambah sempit dan berakhir dengan kemacetan. Gila, luar biasa padat dan rasanya bus kami hanya bergerak sekian meter dalam 30 menit. Teman-teman yg sempat tertidur saat bangun pun cuma bisa terheran-heran bahkan kesal karena ternyata kami belum juga lepas dari Purwakarta. Mau bilang apa coba?

Pulang dengan bus akhirnya bikin kami berdelapan cari cara kreatif buat mengusir kejenuhan, biar nggak mati gaya amat. Duduk di bangku tengah, pindah ke belakang. Bersila di bangku depan, rebahan di tengah. Berlutut menghadap ke belakang, pindah duduk ke lengan bangku. Image hosted by Photobucket.com Wilayah jajahan duduk pun nggak cuma satu tempat. Kami jadi nomaden. Tadi duduk di sayap kiri, sebentar kemudian jadi sayap kanan. Dari garis depan mundur ke garis belakang. Semua dijelajahi sampai puas. Hanya dua orang yg rada bertahan dengan posisi duduknya, Widya dan Edfar. Malah Widya bisa tahan lama rebahan tidur di bangkunya. Apa nggak pegel ya?

Pulang dari Bandung yg rasanya nggak pernah sampai ini berakhir ketika Gedung Twink tampak di depan mata. Ah, leganya....

Gimenong sih....

Tuhan berbaik hati malam ini. Langit malam Bandung bersih dari awan hujan. Setelah sempat menaruh tas dan menyegarkan diri, gue turun ke lobi dan bertemu teman-teman yg mau makan malam di luar. Ada beberapa pilihan tempat makan yg masih dirembukkan juga soal transportasinya karena mobil hanya ada satu. Nggak cukup muat untuk 8-9 orang. Gue sebenarnya nggak terlalu peduli soal kendaraan, tokh di Bandung banyak angkot. Jadi sementara teman-teman masih diskusi, Budi dan gue siap-siap nyebrang jalan, naik angkot ke Tizi. Ayu jadi ikutan kami karena dia sudah kelaparan tapi diskusi belum kelar juga.

Merasakan sepenggal perjalanan ke arah Pasar Simpang lumayan seru. Gue jadi tahu dimana letaknya kios Bubur Ayam Pak Zaenal yg kata orang enak itu. Bolehlah dicoba kapan waktu. Namun malam ini gue ingin menikmati makanan 'bule' jadi gue pesan Asparagus Soup untuk pembuka dan Caper ala Meuniere with Fries sebagai makanan utama. Porsi ikan kakap ini cukup besar ternyata, akibatnya masih ada yg tersisa saat gue merasa kenyang. Sementara itu, Budi memesan hidangan dengan sosis dan Ayu hanya mencicipi Mushroom Soup. Mereka berdua sedang tidak sehat rupanya, karena begitu selesai makan sup, Ayu pulang lebih awal ke hotel dan Budi tidak sanggup menghabiskan makanannya. Nggak bisa berlama-lama juga nongkrong di Tizi karena Budi makin nggak nyaman sama kondisi tubuhnya jadi kami langsung bayar bon dan balik ke hotel.

Saat tiba di pelataran hotel, kami ketemu Martin dan Orie yg baru berencana makan malam. Mereka ajak kami pergi lagi, tapi Budi sudah nggak sanggup jadi dia mau langsung tidur saja. Akhirnya gue yg pergi bareng mereka. Nah ini bagian yg menyenangkan buat gue, kami berjalan kaki mencari tenda makan. Sebelum Hotel Bukit Dago kami menemukan tenda nasi goreng. Cuma Orie yg makan, Martin dan gue hanya pesan teh botol. Kami ngobrol ngalor-ngidul, ketawa-tawa setiap ada cerita tentang kontestan yg aneh-aneh di ruang precast masing-masing.

Percakapan lalu berpindah tempat ke lobi hotel. Makin tambah seru karena ketemu Hendri, Arif, Riri dan Adit. Dan tahu nggak, di saat inilah aib Riri terungkap. Ceritanya, pas turun dari angkot yg kata abang supirnya sampai ke daerah Dago, Riri, Adit dan Marta terpaksa turun karena si supir belok ke arah lain. Nah, pada saat turun itu Riri ngomel ke supir dan bilang, 'Gimenong sih, abang?!' Duh, gimana marah-marahnya mau dipeduliin sama si abang, kata-katanya 'gimenong' gitu sih. Semua pada ketawa. Riri hanya bisa mengiba-iba supaya ceritanya nggak usah dibahas lagi, tapi percuma. Semua tambah seru ketawa.

Wednesday, February 23, 2005

Waktu Terus Berlalu


Hujan. Cuaca yg kurang nyaman ini berlangsung sejak kemarin. Hmm, meskipun punya banyak rencana semuanya berakhir di kamar hotel juga. Untungnya masih ada teras yg bisa ditongkrongi, masih ada lampu-lampu di daerah Dago yg bisa dipandangi. Satu persoalan, selesai.

Bosan. Duduk di kursi, remote control di tangan. Televisi cuma jadi kilasan warna putih saking seringnya diganti channel. Nggak ada program yg bagus ditonton. Biar saja menyala, kalau begitu.

Tidur. Ini yg mungkin cocok dilakukan di cuaca dingin nggak ada kerjaan pula. Buat sebagian orang itu memang ide bagus, sayangnya nggak buat gue. Alhasil, bosan dengan posisi telentang, ganti tengkurap. Ganti menyamping, setengah meringkuk ke kanan, berubah lagi ke samping kiri. Mata boleh terpejam, tapi telinga dan pikiran terus jalan-jalan. Enough!
Loncat, cari sandal kamar. Bawa hp, kunci kamar.

Jelajah. Di lorong, gue mulai cari sumber keributan. Suara-suara yg dikenal dengan wajah-wajah yg familiar. Ada banyak pintu terbuka, tapi penghuninya berwajah asing. Sempat ragu-ragu karena malu melongok-longok nggak ketentuan, akhirnya ada teman yg melintas keluar kamar. Adit!

'Hei, kamar elo dimana?'
'Di sini. Lagi ngapain?'
'Nggak ada kerjaan. Iseng aja jalan-jalan. Elo sekamar sama siapa?'
'Budi. Eh, anak-anak lagi di kamarnya Tomi tuh. Gabung aja'

Menyenangkan. Ganggu Hendri yg lagi sibuk nulis -urusan kerjaan, ternyata. Melongok dan ngobrol di balkon kamar. Ledek-ledekan sama Adit, Tomi, Budi, Deva dan Orie. Makan mi instan seada-adanya padahal tadi punya rencana makan di luar. Lalu sibuk mondar-mandir ke kedua kamar sementara di luar hujan masih terus turun....

Tuesday, February 22, 2005

Satu Hari di Bandung


00.30: Siap-siap tidur. Satu hari persiapan baru saja berlalu. Satu lagi hari panjang menanti...

21.00: Sekelar miting precaster dan mandi, gue pergi bareng Michael, Arif, Deazy, Oly, Dade, Ofan, Budi dan Riri. Rembuk punya rembuk, akhirnya kami pergi ke 18 hours. Cuma sebentar, lalu ke warung perkedel (bondon!) di belakang stasiun. Kelaparan, soalnya.

16.00: Ketika perut yg sudah keroncongan sejak di perjalanan bisa terisi nasi plus sayur asam di Sabuga, pikiran gue mulai jernih lagi. Uh, jadi tenang dan senang. Sementara gue lagi berencana melihat-lihat lokasi kerja untuk esok hari, beberapa teman sudah terlihat menarik lori dan mengangkut belasan boks ke ruang sekretariat. Saking luasnya tempat ini, sempat gue, Budi dan Tiwu nyasar arah. Mau naik ke sekretariat yg katanya di lantai 2, malah naik ke arah balkon yg nggak tembus kemana-mana. Hehehe, disorientasi nih. Begitu Michael datang, barulah jalan inspeksi ke ruangan lain jadi benar. Hmm, ternyata ada 4 ruang precast yg berada di lantai 2. Karena berada di satu koridor yg cukup luas dan panjang, jarak ruang precast C dan F jadi ujung-ujungan. C di sayap kanan, lalu berturut-turut ruang D, E dan berakhir di F paling pojok sayap kiri kalau kita menghadap arah pintu keluar/exit. Jauh banget, sumpah! Hmm, bisa lama sampai ke ruangan nih peserta audisinya.

10.15: Terbukti, "piknik" bersama memang menyenangkan. Dalam salah satu dari dua bus yg berangkat ke Bandung, kegiatan kami bermula dari makan - diawali dengan risoles, lontong, tahu goreng, biskuit sampai snek berperisa sontong, lanjut dengan bernyanyi-nyanyi diiringi guitarlele-nya Budi, lalu tidur, terus bangun lagi dan mengulang aktifitas yg sama tadi, terserah mana yg mau dilakukan lebih dulu. Perjalanan lewat tol Sadang yg tembus ke Purwakarta cukup lancar. Cuma karena jalanan cukup padat dan hujan, rasanya bus bergerak lamban sekali. Semua teman lalu mati gaya.

Sunday, February 20, 2005

Parijs Van Java

Naik bus ke Bandung besok. Rencana berangkatnya jam 10.00 dari RCTI. Serasa rombongan piknik. Kalau mungkin bawa kaset atau walkman buat hiburan di bus daripada nanti bengong atau cuma tidur doang. Baca nggak mungkin soalnya, pusing.

Besok kerjanya bakal berlangsung di sini sampai hari Kamis.

Moga-moga dapat kontestan yg bagus. Nggak cuma standar seperti di Surabaya kemarin. Amin!

Friday, February 18, 2005

MiX aNd mATcH

In case you're wondering what Scorsag means....

You are 73% Scorpio




You are 80% Sagittarius





Twink's Fog

Mau diasapi. Lagi-lagi untuk kesekian kali. Rencananya besok hari. Nggak bisa masuk kantor sudah pasti. Ruangan bau, sesak napas nanti, bisa mati.

From Surabaya with Laugh....



Jam 05.00 WIB, alarm hp gue bunyi. Gak bisa lebih lama lagi sembunyi di balik selimut di atas kasur yg lumayan nyaman di Somerset Hotel ini karena gue harus segera bangun, mandi, check out dan berangkat ke bandara Djuanda. Gue gak sendirian pulang ke Jakarta pagi ini, ada beberapa teman -Deva, Andri, Alett, Benny, Budi, Ori, Martin dan Marco- yg bakal jadi teman seperjalanan.

Jam 06.15 WIB, setelah koper-koper masuk bagasi mobil, kami meninggalkan hotel dan teman-teman lain yg -sebagian mungkin masih tertidur, sementara sebagian lagi sudah memulai ritual pagi harinya. Hari ini ada pekerjaan proses penjurian yg harus mereka lakukan hingga Sabtu nanti. Setibanya di bandara, gue bagi-bagi tiket, check in, bayar-bayaran airport tax lalu saatnya menunggu pesawat di Gate 6. Andri, Alett dan gue sempat belanja oleh-oleh, Ori sempat terlihat celingak-celinguk mencari tempat dan teman merokok -akhirnya dia dan Martin merokok di ruang tunggu karena ada beberapa orang yg melakukannya di situ. Budi dan Deva sempat jalan-jalan di kios koran dan buku, sementara Marco entah di mana. Sempat juga kami menggoda Deva dan Ori saat duduk bersebelahan, yg ternyata juga bersambung sampai ke dalam pesawat. Goda-godaan standar begitulah, dijodoh-jodohin....hehehe!

Jam 08.00 WIB, pesawat Mandala RI 363 yg kami tumpangi lepas landas dari Djuanda.
Udara saat itu cukup cerah namun perjalanan tidak terlalu mulus, a bit bumpy. Badan pesawat sedikit terguncang-guncang, oleng ke kiri dan kanan. Andri kelihatan sedikit panik, untungnya di sebelahnya ada Benny jadi dia bisa agak tenang. That's what a boyfriend's for, right? Kalau ada kondisi seperti ini saat naik kapal terbang, gue biasanya tenang saja dan pasrah. Berserah pada Tuhan. Tidak ada jalan atau cara lain untuk menghindar kalau itu bagian dari rencanaNya. Jadi kalau ada yg mau ikut-ikutan tenang, besok-besok duduk aja di sebelah gue. Doanya tetap sama kok, semoga selamat dalam lindunganNya. Oke, sekarang coba kita lihat apa yg terjadinya berikutnya. Guncangan mereda, seat belt bisa dilepas kalau mau. Marco nggak berasa ada gangguan apapun, wong dia sudah pulas tidur begitu nempel ma kursinya. Lalu, satu-persatu nyusul. Benny, Andri, Budi, gue. Alett dan Martin asik berbagi baca tabloid. Deva dan Ori, jangan ditanya deh. Lagi asik ngobrol bahkan ketawa-tawa seru. Deva lalu jadi budeg, begitu dia bilang. Mungkin nggak gara-gara Ori? Huaahaahaa....

Jam 09.30 WIB, dapat taksi Blue Bird di pelataran terminal kedatangan. Ini taksi ketiga yg meninggalkan bandara menyusul dua taksi sebelumnya. Isinya cuma gue dan Marco. Pulang? Nggak tuh. Kantor.

Friday, February 11, 2005

Being Galadriel

Though it's no longer LoTR era, I find this character quiz quite amusing. Never thought about the result, but it reflects me in sort of way. At least what I thought I am....



You are most like Galadriel. There's just something about you that people like. A sort of aura. You're very kind to people, and you like to help others succeed. You're not as candid as most people would like. You don't have to share your deepest darkest secrets, but be more honest about things! You're more mature than most people your age, so don't worry!

Bits 'bout her,
Galadriel is one of the oldest legendary figures of Middle-Earth. Together with her husband Celeborn she founded Lothlorien using the power of her Elvenring: Nenya, the Ring of Water. After the Fellowship escaped from Moria they went to Lotlorien where they were led blindfolded to meet Galadriel and Celeborn. They stayed for some time in Lorien enjoying its amazing beauty. Galadriel offered both Sam and Frodo a look in her mirror and it showed them events that they could not comprehend yet. Galadriel also had to withstand the temptation not to accept the One Ring that Frodo offered to her. If she would have accepted it, she would have become all powerfull like a queen of dark power. She passed the test however and accepted her faith. When The Fellowship left Lorien, Galadriel gave them all presents of great value such as the Phial of Galadriel that would help Sam and Frodo in Mordor. After the War of the Ring, Galadriel left Middle-Earth

from http://www.lordotrings.com/tour/galadriel.asp

Wednesday, February 09, 2005

Bottom's Up


5. Liburan dua hari tanggal merah kali ini harus direlakan berlalu di dalam ruang kantor. Persiapan dan persiapan jelas lagi menuntut perhatian. Oya, ada satu berita dari Michael, menyusul konfirmasi dari Ibu Susan juga, yg amat menyenangkan dan bikin gue jingkrak-jingkrak -ehmm, bagian ini sebenarnya hiperbola aja. Gue kebagian tugas jadi juri di ruang precast saat audisi nanti. Artinya, gue jadi ikutan pergi ke kota-kota audisi kan? Horee! Uh, uh, semangat nih, bisa jalan lagi ke Surabaya, Bandung, Makassar dan Yogya. Biar cuma sebentar dan pasti lebih ribet sama kerjaan, paling nggak gue bisa bernapas dan cuci mata di daerah lain. Syukur-syukur kalau bisa ketemuan sama teman-teman lama.

nb: rasanya pengen banget mampir ke Fort Rotterdam saat di Makassar nanti tapi kayaknya nggak mungkin bisa main plus foto-foto di sana pas terang tanah. Gue ditahan dari pagi sampai kelar abis peserta audisi di dalam ruangan terus dan bisa dipastikan sudah gelap baru bisa keluar....



4. Saat menjadi pengangguran nggak jelas gini, ternyata gue nggak kuat mental alias nggak tabah-tabah banget menunggu kontrak baru. Itu sebabnya gue sempat bersms ke Ido, Adi dan beberapa teman lain, siapa tahu mereka tahu info kerjaan yg asik buat dilakoni. Nggak disangka, lewat perantaraan Ido, tawaran itu justru datang. Hanya berselang sepuluh hari dari tanggal gue mengirimkan lamaran via e-mail, gue dipanggil wawancara di WWF. Ada posisi Species Communication Officer yg lowong. Dua kali gue menjalani proses wawancara ini, sayangnya nggak bisa gue lanjutkan dan gue memilih mundur dari posisi yg mereka tawarkan karena FremantleMedia lebih dulu melanjutkan tawaran kontrak kerja baru. Hmm, first come, first serve.

Masa luntang-lantung gue berakhir sudah. Sejak 1 Februari kemarin gue mulai masuk kerja. Thank you, GOD! (masih lanjut di bagian 5)

3. Setelah selama ini cuma sibuk membaca obrolan Plesiran Tempo Doeloe (PTD) di milis Sahabat Museum dan sempat rada-rada cemas batal pergi padahal udah bayar biaya perjalanan ke Sumatera Barat, gue akhirnya punya semua kesempatan itu. Putus kontrak kerja 30 November bikin Desember gue benar-benar istimewa. Rencana pergi PTD Ranah Minang mulai tanggal 16-19 Desember 2004 ternyata jadi kesempatan liburan akhir tahun gue.

Saat itu gue pergi sendiri padahal biasanya -seperti tahun lalu- pergi bareng teman-teman kantor atau sahabat gue, Mia. Di perjalanan ini, teman-teman gue bertambah dan sampai sekarang gue cukup sering ketemuan dan kontak dengan mereka. Ada Elida, Eko, Dian, Dina, Nina, Nadrah, Hanum, Anne, Ria, Citra, Tiwi, DeeDee, Adep, Malihah, Cindy, Bimo, Nadia. Bareng mereka, semua kejadian sepertinya nggak pernah luput dari kegilaan foto, makan yg nggak ada kenyang-kenyangnya, obrolan yg selalu ditingkahi ketawa ngakak. Seru dan sinting! Di komunitas ini, akhirnya, gue ketemu orang-orang yg sanggup menatapi bangunan-bangunan tua dengan penuh kekaguman atau sama-sama meratapi hilangnya sebuah momen karena gedung modern telah merata-tanahkan bangunan bersejarah.

Di ranah Minang, gue punya kesempatan kilas balik ke masa-masa lalu lewat bangunan tempo dulu selain tur ke tempat-tempat wisata yang terasa luar biasa nikmatnya. Gimana nggak nikmat? Walaupun cuaca cerah mengarah panas, udara di sana tetap sejuk dan angin yg bertiup perlahan selalu sukses membuat gue terlena, mengkhayal berada di atas hammock yg bergoyang-goyang pelan di antara dua pohon dengan sebuah buku bacaan favorit tergeletak di atas perut, tak selesai dibaca....

Ini beberapa catatan singkat yg ditulis DeeDee tentang perjalanan kemarin. Thanks Dee, for making the trip on the record.

PLESIRAN TEMPO DOELOE naar RANAH MINANG, 16-17-18-19 December 2004

HARI PERTAMA : THE FUN IS ABOUT TO BEGIN
Bandara Tabing, Padang, Villa Lembah Anai Golf & Resort, Padang Panjang, Rumah Makan Pak Datuk, Pusat Informasi & Dokumentasi Minangkabau, Stasiun Kereta Api Padang Panjang, Batusangkar, Istana Pagaruyung, desa tradisional Sungayang, “Batu Batikam”, Sate Mak Syukur.

HARI KEDUA : THE CRAZYNESS CONTINUES
Air terjun Lembah Anai, Pandai Sikek cara pebuatan kain tenun, Hotel Novotel Bukittinggi, belanja-belanji di Pasar Atas, makan siang di Rumah Makan Rindu Alam , Ngarai Sianok, Goa Jepang,



Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma, rumah kelahiran mantan wakil president RI pertama Bung Hatta, benteng Fort de Kock, Jembatan Limpapeh, Kebon Binatang. Makan malam di Rumah Makan Famili Benteng, berburu duren serta lanjut makan roti cane & kuah gulai kambing di lesehan disekitar hotel, lalu berkumpul di lobby untuk bertanding bilyard dan permainan sepak bola meja hingga sekitar pukul 12 malam.

HARI KETIGA : OH WILL THEY EVER STOP TALKING, LAUGHING, SCREAMING & HAVING FUN?

Pagi berangkat ke lokasi ini....



home.wanadoo.nl/zoontjes/ en/sumb/sumb_bukit.htm

The Minang Highlands comprise some beautiful crater lakes. The most spectacular of them is undoubly Danau ("Lake") Maninjau. The lake measures 17 by 8 kilometres and is surrounded by steep, more than 500 metres high crater walls. It can be easily reached from Bukittinggi in approximately one hour. The road to the lake winds up the crater's rim to Embun Pagi. From here, the view over the lake is breathtaking. On a windless day, the lake shimmers like a mirror, reflecting an image of the crater walls. From Embun Pagi, the road winds down to the lake via Kelok Empat-puluh-empat, or 44 hairpin turns to the village Maninjau on the shore of the lake. Before making the descent, stop at one of the stalls to buy some peanuts. This will be highly appreciated by the monkeys who will be awaiting you on the way down.

Habis itu, makan siang di Rumah Makan Pauah Pariaman. Hotel Pangeran Beach, kota lama Padang, Pasar Mudik, Pasar Gadang, Pasar Batipuah, pelabuhan Muara Padang, kelenteng dan belanja oleh-oleh. Makan malam di rumah makan Martabak Kubang , kota Padang di waktu malam, makan es di daerah Pulau Karam, berkumpul di dua kamar (connecting door) ngegossip & rumpi bareng dan photo2 sampai jam 12 malam.

HARI KE EMPAT: TOO BAD SO SAD, IT’S TIME TO GO HOME
Pelabuhan Teluk, Pantai Bungus, team building, evaluasi acara dan kesan-kesan peserta selama plesiran berlangsung, mesjid tertua Mesjid Ganting. Soto Garuda untuk makan siang, airport & take off kembali ke Jakarta (naik lagi ke bagian 4)

2. Barangkali menyimpan catatan kejadian, peristiwa, atau kisah entah itu besar-kecil, penting-biasa aja, menyedihkan-menyenangkan, memang nggak mesti dibentuk-nyatakan dalam tulisan. Gue selalu yakin bahwa kapasitas memori di kepala ini nggak pernah ada tandingannya. Apa istilahnya dalam bahasa komputer, bergiga-gigabyte? Buat gue, ingatan itu disimpan rapi dalam rak-raknya, tinggal diambil dan dibuka kembali begitu perlu.

Kalaupun ternyata ada bagian-bagian peristiwa yg terlupakan, terlewatkan, itu bisa saja terjadi karena ada cuplikan kejadian yg memang tidak terlalu rinci direkam dalam ingatan pribadi. Untuk hal yg terakhir disebutkan ini, barulah terasa fungsi seorang teman karena tugasnyalah membantu melengkapi ingatan yang cuma sepotong itu. Lupa juga bisa terjadi, karena ada bagian-bagian yang memang secara sengaja dihilangkan. Atau bisa juga jadi aus, menguap perlahan, menghilang tanpa jejak karena faktor usia. Ini bagian yang paling manusiawi buat gue, karena usia kita bukanlah lautan tak bertepi - mengutip satu baris puisi yg gue suka di buku Catatan Gunung Sahari.

Kapasitas di kepala masih bisa terus bertambah namun lambat laun kecepatan mencarinya mulai pelan. Ini yg tak bisa gue pungkiri. Bila akhirnya, sekarang, saat ini gue menuangkan ingatan itu, artinya gue hanya mencoba berbagi dengan medium lain, dengan orang lain. Supaya nanti bila ada yg perlu diceritakan, ada yg membantu untuk melengkapi (terus ke bagian 3)

1. Menulis sesuatu di catatan, di sebuah medium, entah itu cetakan standar model buku harian yang kasat indera ataupun yg maya seperti ini, memang nggak selalu menjadi rutinitas gue. Terbukti dong lewat tanggal terakhir yg gue masukkan di blog ini. Bandingkan dengan tanggal sekarang, uuuhh.. udah jauh lewat berhari-minggu-bulan lamanya (lanjut ke bagian 2 di atas)