Bottom's Up
5. Liburan dua hari tanggal merah kali ini harus direlakan berlalu di dalam ruang kantor. Persiapan dan persiapan jelas lagi menuntut perhatian. Oya, ada satu berita dari Michael, menyusul konfirmasi dari Ibu Susan juga, yg amat menyenangkan dan bikin gue jingkrak-jingkrak -ehmm, bagian ini sebenarnya hiperbola aja. Gue kebagian tugas jadi juri di ruang precast saat audisi nanti. Artinya, gue jadi ikutan pergi ke kota-kota audisi kan? Horee! Uh, uh, semangat nih, bisa jalan lagi ke Surabaya, Bandung, Makassar dan Yogya. Biar cuma sebentar dan pasti lebih ribet sama kerjaan, paling nggak gue bisa bernapas dan cuci mata di daerah lain. Syukur-syukur kalau bisa ketemuan sama teman-teman lama.
nb: rasanya pengen banget mampir ke Fort Rotterdam saat di Makassar nanti tapi kayaknya nggak mungkin bisa main plus foto-foto di sana pas terang tanah. Gue ditahan dari pagi sampai kelar abis peserta audisi di dalam ruangan terus dan bisa dipastikan sudah gelap baru bisa keluar....
4. Saat menjadi pengangguran nggak jelas gini, ternyata gue nggak kuat mental alias nggak tabah-tabah banget menunggu kontrak baru. Itu sebabnya gue sempat bersms ke Ido, Adi dan beberapa teman lain, siapa tahu mereka tahu info kerjaan yg asik buat dilakoni. Nggak disangka, lewat perantaraan Ido, tawaran itu justru datang. Hanya berselang sepuluh hari dari tanggal gue mengirimkan lamaran via e-mail, gue dipanggil wawancara di WWF. Ada posisi Species Communication Officer yg lowong. Dua kali gue menjalani proses wawancara ini, sayangnya nggak bisa gue lanjutkan dan gue memilih mundur dari posisi yg mereka tawarkan karena FremantleMedia lebih dulu melanjutkan tawaran kontrak kerja baru. Hmm, first come, first serve.
Masa luntang-lantung gue berakhir sudah. Sejak 1 Februari kemarin gue mulai masuk kerja. Thank you, GOD! (masih lanjut di bagian 5)
3. Setelah selama ini cuma sibuk membaca obrolan Plesiran Tempo Doeloe (PTD) di milis Sahabat Museum dan sempat rada-rada cemas batal pergi padahal udah bayar biaya perjalanan ke Sumatera Barat, gue akhirnya punya semua kesempatan itu. Putus kontrak kerja 30 November bikin Desember gue benar-benar istimewa. Rencana pergi PTD Ranah Minang mulai tanggal 16-19 Desember 2004 ternyata jadi kesempatan liburan akhir tahun gue.
Saat itu gue pergi sendiri padahal biasanya -seperti tahun lalu- pergi bareng teman-teman kantor atau sahabat gue, Mia. Di perjalanan ini, teman-teman gue bertambah dan sampai sekarang gue cukup sering ketemuan dan kontak dengan mereka. Ada Elida, Eko, Dian, Dina, Nina, Nadrah, Hanum, Anne, Ria, Citra, Tiwi, DeeDee, Adep, Malihah, Cindy, Bimo, Nadia. Bareng mereka, semua kejadian sepertinya nggak pernah luput dari kegilaan foto, makan yg nggak ada kenyang-kenyangnya, obrolan yg selalu ditingkahi ketawa ngakak. Seru dan sinting! Di komunitas ini, akhirnya, gue ketemu orang-orang yg sanggup menatapi bangunan-bangunan tua dengan penuh kekaguman atau sama-sama meratapi hilangnya sebuah momen karena gedung modern telah merata-tanahkan bangunan bersejarah.
Di ranah Minang, gue punya kesempatan kilas balik ke masa-masa lalu lewat bangunan tempo dulu selain tur ke tempat-tempat wisata yang terasa luar biasa nikmatnya. Gimana nggak nikmat? Walaupun cuaca cerah mengarah panas, udara di sana tetap sejuk dan angin yg bertiup perlahan selalu sukses membuat gue terlena, mengkhayal berada di atas hammock yg bergoyang-goyang pelan di antara dua pohon dengan sebuah buku bacaan favorit tergeletak di atas perut, tak selesai dibaca....
Ini beberapa catatan singkat yg ditulis DeeDee tentang perjalanan kemarin. Thanks Dee, for making the trip on the record.
PLESIRAN TEMPO DOELOE naar RANAH MINANG, 16-17-18-19 December 2004
HARI PERTAMA : THE FUN IS ABOUT TO BEGIN
Bandara Tabing, Padang, Villa Lembah Anai Golf & Resort, Padang Panjang, Rumah Makan Pak Datuk, Pusat Informasi & Dokumentasi Minangkabau, Stasiun Kereta Api Padang Panjang, Batusangkar, Istana Pagaruyung, desa tradisional Sungayang, “Batu Batikam”, Sate Mak Syukur.
HARI KEDUA : THE CRAZYNESS CONTINUES
Air terjun Lembah Anai, Pandai Sikek cara pebuatan kain tenun, Hotel Novotel Bukittinggi, belanja-belanji di Pasar Atas, makan siang di Rumah Makan Rindu Alam , Ngarai Sianok, Goa Jepang,
Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma, rumah kelahiran mantan wakil president RI pertama Bung Hatta, benteng Fort de Kock, Jembatan Limpapeh, Kebon Binatang. Makan malam di Rumah Makan Famili Benteng, berburu duren serta lanjut makan roti cane & kuah gulai kambing di lesehan disekitar hotel, lalu berkumpul di lobby untuk bertanding bilyard dan permainan sepak bola meja hingga sekitar pukul 12 malam.
HARI KETIGA : OH WILL THEY EVER STOP TALKING, LAUGHING, SCREAMING & HAVING FUN?
Pagi berangkat ke lokasi ini....
home.wanadoo.nl/zoontjes/ en/sumb/sumb_bukit.htm
The Minang Highlands comprise some beautiful crater lakes. The most spectacular of them is undoubly Danau ("Lake") Maninjau. The lake measures 17 by 8 kilometres and is surrounded by steep, more than 500 metres high crater walls. It can be easily reached from Bukittinggi in approximately one hour. The road to the lake winds up the crater's rim to Embun Pagi. From here, the view over the lake is breathtaking. On a windless day, the lake shimmers like a mirror, reflecting an image of the crater walls. From Embun Pagi, the road winds down to the lake via Kelok Empat-puluh-empat, or 44 hairpin turns to the village Maninjau on the shore of the lake. Before making the descent, stop at one of the stalls to buy some peanuts. This will be highly appreciated by the monkeys who will be awaiting you on the way down.
Habis itu, makan siang di Rumah Makan Pauah Pariaman. Hotel Pangeran Beach, kota lama Padang, Pasar Mudik, Pasar Gadang, Pasar Batipuah, pelabuhan Muara Padang, kelenteng dan belanja oleh-oleh. Makan malam di rumah makan Martabak Kubang , kota Padang di waktu malam, makan es di daerah Pulau Karam, berkumpul di dua kamar (connecting door) ngegossip & rumpi bareng dan photo2 sampai jam 12 malam.
HARI KE EMPAT: TOO BAD SO SAD, IT’S TIME TO GO HOME
Pelabuhan Teluk, Pantai Bungus, team building, evaluasi acara dan kesan-kesan peserta selama plesiran berlangsung, mesjid tertua Mesjid Ganting. Soto Garuda untuk makan siang, airport & take off kembali ke Jakarta (naik lagi ke bagian 4)
2. Barangkali menyimpan catatan kejadian, peristiwa, atau kisah entah itu besar-kecil, penting-biasa aja, menyedihkan-menyenangkan, memang nggak mesti dibentuk-nyatakan dalam tulisan. Gue selalu yakin bahwa kapasitas memori di kepala ini nggak pernah ada tandingannya. Apa istilahnya dalam bahasa komputer, bergiga-gigabyte? Buat gue, ingatan itu disimpan rapi dalam rak-raknya, tinggal diambil dan dibuka kembali begitu perlu.
Kalaupun ternyata ada bagian-bagian peristiwa yg terlupakan, terlewatkan, itu bisa saja terjadi karena ada cuplikan kejadian yg memang tidak terlalu rinci direkam dalam ingatan pribadi. Untuk hal yg terakhir disebutkan ini, barulah terasa fungsi seorang teman karena tugasnyalah membantu melengkapi ingatan yang cuma sepotong itu. Lupa juga bisa terjadi, karena ada bagian-bagian yang memang secara sengaja dihilangkan. Atau bisa juga jadi aus, menguap perlahan, menghilang tanpa jejak karena faktor usia. Ini bagian yang paling manusiawi buat gue, karena usia kita bukanlah lautan tak bertepi - mengutip satu baris puisi yg gue suka di buku Catatan Gunung Sahari.
Kapasitas di kepala masih bisa terus bertambah namun lambat laun kecepatan mencarinya mulai pelan. Ini yg tak bisa gue pungkiri. Bila akhirnya, sekarang, saat ini gue menuangkan ingatan itu, artinya gue hanya mencoba berbagi dengan medium lain, dengan orang lain. Supaya nanti bila ada yg perlu diceritakan, ada yg membantu untuk melengkapi (terus ke bagian 3)
1. Menulis sesuatu di catatan, di sebuah medium, entah itu cetakan standar model buku harian yang kasat indera ataupun yg maya seperti ini, memang nggak selalu menjadi rutinitas gue. Terbukti dong lewat tanggal terakhir yg gue masukkan di blog ini. Bandingkan dengan tanggal sekarang, uuuhh.. udah jauh lewat berhari-minggu-bulan lamanya (lanjut ke bagian 2 di atas)
<< Home