Monday, April 25, 2005

1/2 Semangat Ekstra

Seminggu sudah pekerjaan Extra ini berjalan, seminggu terhitung dari tanggal pertama penayangannya. Bukan pekerjaan mudah, tapi ini pekerjaan yg sesuai dengan nama programnya. Ekstra kreativitas, ekstra sabar, ekstra tabah. Mengapa dibilang begitu?

Bicara Extra, bicara bahwa program ini diupayakan untuk mendukung program Series yg muncul seminggu sekali. Bicara Extra, bicara menghadirkan aktivitas kontestan di berbagai kesempatan juga cerita up close and personal dari masing-masing kontestan. Bicara Extra, bicara menampilkan liputan dengan berbagai catatan, dengan berbagai batasan, tidak mendahului series, tidak mengulang series, tidak mengambil gambar yg menjadi jatahnya series. Tidak mudah memang namun harus dijalani hingga Extra ini selesai di pertengahan Agustus nanti.

Apa yg terjadi sepanjang persiapan dan perjalanan pekerjaan selama ini? Beberapa catatan miring sudah dibukukan. Sempat mengejutkan diri sendiri, sempat membuat patah hati. Rasanya berdiri pun menjadi setengah kaki. Goyah menapak, berdiri pun tak tegak. Lagi-lagi kata umpatan keluar padahal ini jelas nggak menyelesaikan apa-apa.

Kemana perginya toleransi? Bukankah kita bisa duduk bersama mengevaluasi? Bisakah kita kompromi? Atau maunya cuma dipahami tanpa memahami?


??? ??? ???

Ayo, dong!

Thursday, April 21, 2005

Kok Begini Lagi?

Gimana sih? Lagi-lagi mesti menunggu loading untuk kesekian kalinya padahal materinya sudah harus jadi untuk tayang besok. Rasanya tadi baru aja diomongin di rapat Extra, kok lagi-lagi masalah ini keulang. Gue jadi buang energi kalo begini. Menunggu sesuatu yg belum juga bisa dikerjakan. Sekarang data materi loadingnya gak ada, terus gimana bikin editingnya dong? Masa mesti offline dan ngulang loading lagi? Kapan kelarnya?

*sialan!*

Wednesday, April 20, 2005

Pindah Tongkrongan

Jadi juga gue pergi ke Museum Sejarah Jakarta alias Museum Fatahillah kemarin buat nonton pertunjukan teater Oey Tambahsia: Si Tampan van Batavia. Acara ini mulai jam 10.00 dan gue tiba di sana rada terlambat 15 menit. Untungnya, masih ada upacara kata sambutan segala jadi pertunjukan barongsai yg mengawali tontonan ini belum dimulai.

Ketemu Adep, lalu kenalan dengan teman-teman alumnus PTD Semarang - Nila, Endul, hehehe, siapa lagi lainnya gue lupa nih. Terus ketemu Cindy, Dian, Malihah, Tiwi -teman-teman sesama alumnus PTD Ranah Minang, lalu Deedee juga kenalan sama Ninta. Seru ketemu mereka karena mereka memang seru gilanya, berisiknya, gaharnya, laparnya....hahahaha!

Tontonan teater akhirnya malah tidak tuntas ditonton karena alur ceritanya lambat, terlalu lama adegan 'berkeliarannya' sehingga sempat susah membedakan mana pemain mana penonton. Belum lagi terik matahari yg cukup gila-gilaan sehingga nggak semua penonton tabah menunggu kelanjutan cerita yg berlokasi di lapangan terbuka dari museum ini.


Eh, hari ini gue dapat posting artikel tulisan Pak Berty tentang pertunjukan Oey Tambahsia dari milis Sahabat Museum. Coba deh baca ceritanya yg dimuat di Suara Pembaruan ini, menarik!


Pementasan Oey Tambahsia, Menarik tapi Lambat

Image hosted by Photobucket.com
Foto:Pembaruan/Alex Suban

DRAMA REKONSTRUKSI - Beberapa pemain menampilkan adegan hukuman mati dengan digantung di halaman Museum Sejarah Jakarta, Minggu (17/4), yang diangkat dari kisah Tambahsia antara 1851-1856. Dalam drama ini para pemain merekonstruksi peristiwa yang pernah terjadi itu.

JAKARTA - Pementasan teater rekonstruksi Oey Tambahsia: si Tampan van Batavia yang berlangsung di halaman Museum Sejarah Jakarta (Musejak), Minggu (17/4) pagi, mendapat sambutan hangat penonton. Ratusan orang memadati halaman itu, untuk menyaksikan kisah reka ulang si playboy dari tahun 1850-an yang karena kejahatannya, akhirnya mati di tiang gantungan.
Dalam acara itu, hadir Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Aurora Tambunan, yang bersama Kepala Musejak, Tinia Budiati, membuka resmi pementasan tersebut. Selain itu, acara itu juga ditonton oleh sejumlah tokoh, seperti artis dan produser film Paquita Widjaja, pengamat kemasyarakatan Harry Tjan Silalahi, para peserta wisata Kampung Tua, komunitas Sahabat Museum, sejumlah wisatawan asing, dan warga Jakarta Barat.


Kisahnya sendiri bermula dari seorang saudagar kaya Oey Tay Lo, yang tadinya menetap di Pekalongan, lalu pindah ke Batavia dan mempunyai toko tembakau yang diperkirakan sebagai toko termbakau terbesar di kota itu. Oey Tay mempunyai empat anak, salah satunya Oey Tambah, yang sering juga disebut Tambahsia. Kata "sia" menurut Harry Tjan Silalahi adalah sebutan untuk anak orang kaya yang dihormati, seperti sebutan "den mas".

Berbeda dengan ayahnya yang berperilaku santun dan terpuji, Tambah sebaliknya. Sejak usia muda dia sudah dikenal sebagai anak nakal. Belakangan dia bahkan menjadi playboy. Rumah peristirahatannya di Ancol yang diberi nama Bintang Mas, dijadikan tempat bagi Tambah untuk menggauli gadis-gadis cantik. Gadis-gadis yang dibawa ke sana bukan perempuan nakal, tetapi kebanyakan orang baik-baik yang kena bujuk dan rayuan Tambahsia.

Tambah juga tak segan-segan mengambil istri orang bila dia menyukai wanita itu. Kejahatan Tambah makin bertambah, karena dia tak segan menyuruh anak buahnya membunuh orang yang dianggap mengganggu atau membuatnya cemburu. Bahkan salah satu orang kepercayaannya, dibunuh oleh Tambah dengan memberi kue berisi racun. Tujuannya untuk memfitnah bahwa orang kepercayaan itu dibunuh oleh musuh Tambah.

Awalnya, semua kejahatan Tambah itu bisa ditutupi dengan baik. Apalagi dengan kekayaannya, Tambah mudah saja menyogok banyak orang untuk menutupi kejahatannya. Tetapi, akhirnya terbukti bahwa Tambah yang menyuruh Pioen dan Soero membunuh banyak jiwa. Maka Tambah divonis hukuman mati oleh pengadilan. Dia digantung di lapangan depan Stadhuis Batavia, yang gedungnya kini menjadi Museum Sejarah Jakarta.

Penuh Intrik

Secara keseluruhan, cerita itu memang menarik. Unsur-unsur drama tercakup di dalam kisah itu, penuh intrik, seks, dan horor. Sayangnya, pementasan yang diadakan di halaman terbuka itu terkesan berjalan lambat. Dimulai pukul 10.00 pagi, ketika matahari telah bersinar cukup panas, pementasan itu baru berakhir lewat pukul 12.00 saat panasnya matahari terasa di ubun-ubun. Akibatnya, sejumlah penonton bubar sebelum pertunjukan berakhir.

Selain itu, seperti dikatakan Paquita Widjaja dan sejumlah penonton lainnya, blocking pemain terlalu lebar. Akibatnya tak mudah bagi penonton untuk mengikuti seluruh sajian pementasan teater itu. Belum lagi tata suara yang kurang baik, membuat penonton tak bisa mendengar percakapan sejumlah tokoh dalam pentas itu.

Ade Purnama, perintis komunitas Sahabat Museum juga mengusulkan, sebaiknya narasi dan percakapan menggunakan bahasa Melayu-Betawi, sehingga lebih terkesan "kekunoannya". Berkaitan dengan itu, Harry Tjan Silalahi memberikan komentar, narasi dalam Bahasa Mandarin yang ditampilkan dalam pementasan itu boleh-boleh saja. Hanya dia mengingatkan, bahwa pada tahun 1850-an, bahasa Cina yang digunakan adalah bahasa Hokkian. Bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional Cina baru dikenal tahun 1911.

Harry Tjan juga mengatakan bahwa pementasan itu terlalu "over Chinese". Misalnya penggunaan busana para pemain dari suku bangsa Cina. Dikatakan, kaum pria suku bangsa Cina yang hidup di Batavia pada masa itu tidak lagi menggunakan busana warna-warni seperti ditampilkan di pentas. Para pria sehari-hari menggunakan kemeja han chin cho, sejenis baju koko dengan kancing kait dan dua saku di bagian bawah. Demikian pula baju para opas polisi yang perlu lebih disesuaikan seperti busana yang memang digunakan di Batavia pada tahun 1850-an. Walaupun Tinia Budiati pada sambutan pembukaannya mengatakan bahwa pagelaran itu hanyalah hiburan semata, tetapi bila disebut teater rekonstruksi, sebaiknya memang reka ulang dilakukan semirip mungkin aslinya.

Di luar itu, Harry Tjan memuji pementasan itu. Menurutnya, pementasan itu dapat memperlihatkan bahwa suku bangsa Cina sebenarnya banyak sisinya. Ada yang baik dan santun seperti Oey Tay Lo dan sahabatnya Mayor Tan Ing Gwan, yang merupakan pemimpin suku bangsa Tionghoa di Batavia saat itu. Namun ada juga yang jahat seperti Oey Tambahsia. Satu hal menarik diungkapkan Harry Tjan, bahwa lapangan Museum Sejarah Jakarta dulunya penuh pohon asem.
Ketika Oey Tambah diperiksa di pengadilan, keluarganya pernah mencoba menyogok para hakim. Saat itu, hakim menanyakan, berapa yang sanggup dibayar? Keluarga Oey Tambah dan pengacaranya Mr B Bakker, menyebutkan, silakan hitung jumlah daun pohon asem yang ada (dan tentunya banyak sekali-Red.). Namun hakim cuma tertawa, tak menerima sogokan itu. Oey Tambah tetap digantung! (B-8)

sumber: Suara Pembaruan, BertyandFifi Sinaulan bertyfifi@yahoo.com

Saturday, April 16, 2005

Sahabat Sesungguhnya

text message:

It helped me a lot and relieving when you hear me out last night. It really broke my heart to feel I'm not belong in this work again. Maybe I take this matter too hard, but I can't help it. Damn, it bugs me a lot. Sorry, if I make you hear this over again.

delivered to 0818818xxx

sms in, 0818818xxx

The most important thing is do not regret 'cause we're not gonna through this 4 d rest of our lives. Our personality is d most precious n still ready to reach d better one. Keep sharing it with me, I enjoy every time of it. Smile..

reply to 0818818xxx

I try though it probably the lamest smile you've ever seen.... I keep telling myself dat they maybe forget to do it, but I'm preparing myself for da worse. Don't want to make big deal of it, but I'm wondering. It's tough, really tough. BTW, thanks for da CD, it's comforting to know dat someone cares for me (", )



write another text message:

Maap ya, ngeganggu elo cm utk dengerin kekesalan dan kecengengan gw. Moga2 g jd ngerusak hari elo. Makasih dah dengerin.

sent to 08159974xxx

1 new message from 08159974xxx

Ga papa, itu berarti lo masih menganggap gue teman sejati. Wajar kalo lo spt itu, mungkin gw jg akan bersikap spt lo.... Don't worry, jalan msh panjang kok, oke?

Wednesday, April 06, 2005

Katanya Gempa

15.25 wib

Begini rasanya kalau harus ikut-ikutan waspada karena ada sms yg diterima orang kantor tentang kemungkinan terjadinya gempa. Dikasih tahunya pas lagi nonton American Idol pula. Gila! Susah banget buat gue untuk beranjak meninggalkan TV tanpa tahu bagaimana penampilan Constantine Maroulis. Dia belum kebagian nyanyi nih, jangan-jangan yg terakhir lagi!


15.42 wib

Sebagian teman sudah turun ke lobi bawah. Ada yg pakai tangga darurat, ada yg pakai lift. Yg terakhir ini, jangan dicontoh ya. Kalau paham prosedur bencana, manalah boleh pakai lift untuk turun. Ntar bisa terjebak kan?!


15.50 wib

Mana? Mana Maroulis?


15.56 wib

Akhirnya! Dia nyanyi 'My Funny Valentine' Huh, nggak usah dikomentarin. Asik banget penampilan dan suaranya a***ng banget, keren. Safe, man. You're safe for the next round.


16.00 wib

Katanya gempa nih?

Gue sempat ke toilet dulu lalu jalan ke arah tangga darurat. Ini tangga yg sering gue akses buat naik turun ke kantor secara cuma di lantai 2 doang. Di sini sudah ada Martin, Hendri dan Bona. Dari wajah mereka, semuanya mengajukan pertanyaan yg sama. Mana?


16.05 wib

Belum.


16.17 wib

Helllloooo.... Mesti berapa lama lagi ya?


16.19 wib

Buka detik.com via hp. Heh! Cuma isu doang?


16.20 wib

Kerja!


nb:
berdiri di bawah kusen pintu tangga darurat rasanya tidak terlalu memalukan daripada ikut-ikutan turun ke lobi bawah dan beramai-ramai pula. bo, ternyata cuma kantor ini saja yg panikan orang-orangnya. kantor lain nggak ada yg keluar. *malu*

Sunday, April 03, 2005

Kembaran Jiwa

Ada yang akhirnya menjadi kebiasaan. Mau dibilang rutin sebenarnya terjadi tidak secara terencana. Hanya dari kebiasaan bercerita dan berbagi kabar tentang apa saja, terutama yg terjadi di Kautaman, akhirnya jadi kecanduan. Dan malam ini ceritanya jadi lebih panjang dari biasanya.

Apa saja jadi bahasan. Mulai dari A sampai Z, lalu balik dari Z ke A lagi. Kebutuhan bercerita ini ternyata juga dia rasakan. Nggak bisa kayaknya nggak terima kabar sehari pun, begitu katanya.

Dari kebiasaan bercerita dengannya ini, gue jadi belajar banyak hal. Apa lagi saat bercerita hal yg lebih pribadi sifatnya. Darinya, gue belajar mengenal cara berpikir dan berperilaku laki-laki, misalnya, lengkap dengan asumsi dan opini dari sudut pandangnya saat melihat suatu persoalan. Nggak pernah mudah untuk memahaminya memang namun -yg gue suka- info seperti ini gue dapat langsung dari tangan pertama. Hmm, pengalaman ini jelas-jelas jauh lebih berharga daripada cuma baca artikel "How to Understand Men: Can't Live With Them, Can't Live Without Them" di Majalah Cosmo.

Ketika cerita terus mengalir, masing-masing jadi buka kartu. Nggak nyangka deh bakal seterus terang seperti ini. Guess what, man, lucky me having you as a friend!

Saturday, April 02, 2005

Tampilan Baru

Setelah sempat beberapa kali gagal janjian, hari ini gue ketemu juga sama Mbak Tikka. Di Daniel Amarta Salon, Jl. Cikajang sebelah NVU. Dari jamannya gue audisi Idol di Yogya, dia sudah cerita mau mewarnai rambutnya. Warnanya apa dia masih bingung, copper atau burgundy. Sekitar jam 1 siang dia sudah tiba di salon dan minta gue datang ke sana. Cuma karena dia cerita mau massage dulu, gue urungkan niat datang cepat. Pasti lama nih. Secara gue nggak mau apa-apa di salon, nggak cuci-blow atau creambath, bisa dipastikan gue bakalan cengok di sana. Jadi di rumah gue makan siang dulu, bantu lipat-lipat baju dan nonton acara gosip buat update berita artis.

Jam 3, gue baru pergi ke sana. Hahaha, gue liat Mbak Tikka terkantuk-kantuk saat diwarnai. Copper Chesnut, itu warna yg akhirnya dipilih. Sepanjang proses pewarnaan, kami mengobrol macam-macam. Terutama soal si Spongebob - ini julukan yg diberi Mbak Tikka buat si bos itu. Hmm, makin lama makin nggak nyaman juga kondisinya. Dari ceritanya, Spongebob ini model orang yg mau dirinya jadi pusat perhatian gitulah. Walaupun Mbak Tikka maunya tetap jadi teman, rasanya rada ribet kalau si Spongebob suka bersikap berlebihan. Nanti jadi panjang urusannya. Malas dong....

Menjelang sore, urusan di salon ini selesai juga. Hasilnya bagus dan cocok dengan warna kulit Mbak Tikka. Dianya aja yg nggak PD, karena menurutnya warnanya terlalu terang. Iyalah, kalau dibandingkan sama warna asli rambutnya yg serba nanggung itu, hitam nggak cokelat juga nggak jelas. Mendingan yg sekarang, tegas cokelat. Gue terus menyemangati dan membesarkan hati Mbak Tikka yg -sumpah!- nggak yakin banget sama penampilannya sekarang. 'Bagus kok, Mbak. Warna cokelatnya memang baru terlihat jelas kalau terkena sinar. Selebihnya sih normal aja.' Nggak cuma sekali lho gue ngomongnya, tapi berulangkali biar dia tambah yakin.
Keluar dari salon, Mbak Tikka nggak punya pilihan lain. Rambutnya sudah berubah warna.

Friday, April 01, 2005

Banci Foto

Kapan lagi bisa gila-gilaan difoto secara ada fotografer Malibu yg bisa dikaryakan buat motretin orang-orang banci foto model kami ini? Image hosted by Photobucket.com

Nah, inilah hasilnya. Sayang Tiwu, Marco dan Adja tidak ada. Tiwu malah langsung pergi ke MTA sama Ofan. Gue nggak ngerti kemana perginya Marco dan Adja saat itu. Image hosted by Photobucket.com

Image hosted by Photobucket.com

Pulang Pagi

Babak eliminasi kelar. Dua puluh empat orang sudah kepilih buat babak workshop, tapi masih panjang perjalanan mereka sebelum masuk spekta. Waktu nungguin keputusan siapa akhirnya kontestan yg menggenapi 24 ini, mata gue udah berasa sepet banget. Merah dan pegal rasanya tapi harus bertahan karena masih ada kerjaan buat Extra setelah ini.

Jam 01.30 bereslah semua. Taksi sudah menanti di parkiran dan, lho, ada siapa itu di sebelah mobil? Aduh, ada durian runtuh! Lumayan, ada yg bisa dicicipi pagi ini.... hahahaha!

sms in, +628158318672 : endah, behave ya!