Pindah Tongkrongan
Jadi juga gue pergi ke Museum Sejarah Jakarta alias Museum Fatahillah kemarin buat nonton pertunjukan teater Oey Tambahsia: Si Tampan van Batavia. Acara ini mulai jam 10.00 dan gue tiba di sana rada terlambat 15 menit. Untungnya, masih ada upacara kata sambutan segala jadi pertunjukan barongsai yg mengawali tontonan ini belum dimulai.
Ketemu Adep, lalu kenalan dengan teman-teman alumnus PTD Semarang - Nila, Endul, hehehe, siapa lagi lainnya gue lupa nih. Terus ketemu Cindy, Dian, Malihah, Tiwi -teman-teman sesama alumnus PTD Ranah Minang, lalu Deedee juga kenalan sama Ninta. Seru ketemu mereka karena mereka memang seru gilanya, berisiknya, gaharnya, laparnya....hahahaha!
Tontonan teater akhirnya malah tidak tuntas ditonton karena alur ceritanya lambat, terlalu lama adegan 'berkeliarannya' sehingga sempat susah membedakan mana pemain mana penonton. Belum lagi terik matahari yg cukup gila-gilaan sehingga nggak semua penonton tabah menunggu kelanjutan cerita yg berlokasi di lapangan terbuka dari museum ini.
Eh, hari ini gue dapat posting artikel tulisan Pak Berty tentang pertunjukan Oey Tambahsia dari milis Sahabat Museum. Coba deh baca ceritanya yg dimuat di Suara Pembaruan ini, menarik!
Pementasan Oey Tambahsia, Menarik tapi Lambat
Foto:Pembaruan/Alex Suban
DRAMA REKONSTRUKSI - Beberapa pemain menampilkan adegan hukuman mati dengan digantung di halaman Museum Sejarah Jakarta, Minggu (17/4), yang diangkat dari kisah Tambahsia antara 1851-1856. Dalam drama ini para pemain merekonstruksi peristiwa yang pernah terjadi itu.
JAKARTA - Pementasan teater rekonstruksi Oey Tambahsia: si Tampan van Batavia yang berlangsung di halaman Museum Sejarah Jakarta (Musejak), Minggu (17/4) pagi, mendapat sambutan hangat penonton. Ratusan orang memadati halaman itu, untuk menyaksikan kisah reka ulang si playboy dari tahun 1850-an yang karena kejahatannya, akhirnya mati di tiang gantungan.
Dalam acara itu, hadir Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Aurora Tambunan, yang bersama Kepala Musejak, Tinia Budiati, membuka resmi pementasan tersebut. Selain itu, acara itu juga ditonton oleh sejumlah tokoh, seperti artis dan produser film Paquita Widjaja, pengamat kemasyarakatan Harry Tjan Silalahi, para peserta wisata Kampung Tua, komunitas Sahabat Museum, sejumlah wisatawan asing, dan warga Jakarta Barat.
Kisahnya sendiri bermula dari seorang saudagar kaya Oey Tay Lo, yang tadinya menetap di Pekalongan, lalu pindah ke Batavia dan mempunyai toko tembakau yang diperkirakan sebagai toko termbakau terbesar di kota itu. Oey Tay mempunyai empat anak, salah satunya Oey Tambah, yang sering juga disebut Tambahsia. Kata "sia" menurut Harry Tjan Silalahi adalah sebutan untuk anak orang kaya yang dihormati, seperti sebutan "den mas".
Berbeda dengan ayahnya yang berperilaku santun dan terpuji, Tambah sebaliknya. Sejak usia muda dia sudah dikenal sebagai anak nakal. Belakangan dia bahkan menjadi playboy. Rumah peristirahatannya di Ancol yang diberi nama Bintang Mas, dijadikan tempat bagi Tambah untuk menggauli gadis-gadis cantik. Gadis-gadis yang dibawa ke sana bukan perempuan nakal, tetapi kebanyakan orang baik-baik yang kena bujuk dan rayuan Tambahsia.
Tambah juga tak segan-segan mengambil istri orang bila dia menyukai wanita itu. Kejahatan Tambah makin bertambah, karena dia tak segan menyuruh anak buahnya membunuh orang yang dianggap mengganggu atau membuatnya cemburu. Bahkan salah satu orang kepercayaannya, dibunuh oleh Tambah dengan memberi kue berisi racun. Tujuannya untuk memfitnah bahwa orang kepercayaan itu dibunuh oleh musuh Tambah.
Awalnya, semua kejahatan Tambah itu bisa ditutupi dengan baik. Apalagi dengan kekayaannya, Tambah mudah saja menyogok banyak orang untuk menutupi kejahatannya. Tetapi, akhirnya terbukti bahwa Tambah yang menyuruh Pioen dan Soero membunuh banyak jiwa. Maka Tambah divonis hukuman mati oleh pengadilan. Dia digantung di lapangan depan Stadhuis Batavia, yang gedungnya kini menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Penuh Intrik
Secara keseluruhan, cerita itu memang menarik. Unsur-unsur drama tercakup di dalam kisah itu, penuh intrik, seks, dan horor. Sayangnya, pementasan yang diadakan di halaman terbuka itu terkesan berjalan lambat. Dimulai pukul 10.00 pagi, ketika matahari telah bersinar cukup panas, pementasan itu baru berakhir lewat pukul 12.00 saat panasnya matahari terasa di ubun-ubun. Akibatnya, sejumlah penonton bubar sebelum pertunjukan berakhir.
Selain itu, seperti dikatakan Paquita Widjaja dan sejumlah penonton lainnya, blocking pemain terlalu lebar. Akibatnya tak mudah bagi penonton untuk mengikuti seluruh sajian pementasan teater itu. Belum lagi tata suara yang kurang baik, membuat penonton tak bisa mendengar percakapan sejumlah tokoh dalam pentas itu.
Ade Purnama, perintis komunitas Sahabat Museum juga mengusulkan, sebaiknya narasi dan percakapan menggunakan bahasa Melayu-Betawi, sehingga lebih terkesan "kekunoannya". Berkaitan dengan itu, Harry Tjan Silalahi memberikan komentar, narasi dalam Bahasa Mandarin yang ditampilkan dalam pementasan itu boleh-boleh saja. Hanya dia mengingatkan, bahwa pada tahun 1850-an, bahasa Cina yang digunakan adalah bahasa Hokkian. Bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional Cina baru dikenal tahun 1911.
Harry Tjan juga mengatakan bahwa pementasan itu terlalu "over Chinese". Misalnya penggunaan busana para pemain dari suku bangsa Cina. Dikatakan, kaum pria suku bangsa Cina yang hidup di Batavia pada masa itu tidak lagi menggunakan busana warna-warni seperti ditampilkan di pentas. Para pria sehari-hari menggunakan kemeja han chin cho, sejenis baju koko dengan kancing kait dan dua saku di bagian bawah. Demikian pula baju para opas polisi yang perlu lebih disesuaikan seperti busana yang memang digunakan di Batavia pada tahun 1850-an. Walaupun Tinia Budiati pada sambutan pembukaannya mengatakan bahwa pagelaran itu hanyalah hiburan semata, tetapi bila disebut teater rekonstruksi, sebaiknya memang reka ulang dilakukan semirip mungkin aslinya.
Di luar itu, Harry Tjan memuji pementasan itu. Menurutnya, pementasan itu dapat memperlihatkan bahwa suku bangsa Cina sebenarnya banyak sisinya. Ada yang baik dan santun seperti Oey Tay Lo dan sahabatnya Mayor Tan Ing Gwan, yang merupakan pemimpin suku bangsa Tionghoa di Batavia saat itu. Namun ada juga yang jahat seperti Oey Tambahsia. Satu hal menarik diungkapkan Harry Tjan, bahwa lapangan Museum Sejarah Jakarta dulunya penuh pohon asem.
Ketika Oey Tambah diperiksa di pengadilan, keluarganya pernah mencoba menyogok para hakim. Saat itu, hakim menanyakan, berapa yang sanggup dibayar? Keluarga Oey Tambah dan pengacaranya Mr B Bakker, menyebutkan, silakan hitung jumlah daun pohon asem yang ada (dan tentunya banyak sekali-Red.). Namun hakim cuma tertawa, tak menerima sogokan itu. Oey Tambah tetap digantung! (B-8)
sumber: Suara Pembaruan, BertyandFifi Sinaulan bertyfifi@yahoo.com
<< Home