Film Sedih
Gue sangat menyadari bahwa gue punya hobi menonton.
Nonton TV
Itu salah satu misalnya. Program tv apa saja sepanjang itu menarik perhatian dan bisa nambah pengetahuan pasti gue tonton. Gak peduli sebentar-sebentar, pet-pet, gue mesti pencet tombol remote mindahin saluran karena acaranya lagi jeda iklan. Sejauh ini ternyata, gue tetap bisa ngikutin cerita film di SCTV, program soft-news di Trans TV dan menikmati video clip di Jak TV berbarengan. Menonton TV, biasanya baru bisa gue lakukan di malam hari sepulang kerja. Biasanya di atas jam 22, saat stasiun TV menayangkan beberapa pilihan program yg sudah tak terlalu seru buat kebanyakan orang. Gue selalu menonton berita malam. Tinggal tekan tombol channel RCTI, SCTV atau Metro. Sesudah itu, cari acara musik atau berita hiburan mancanegara di Global atau Jak TV. Program yg ini saja buat gue sudah sangat menghibur dan membuat gue lupa sama kepenatan kerja seharian. Paling tidak, gue masih sempat meng-update diri dengan berita-berita terakhir yg nggak sempat gue baca dari koran dan masih sempat menikmati tontonan musik baru ataupun lawas sebelum akhirnya tidur.
Nonton Film di Bioskop
Jelas-jelas ini usaha. Mengeluarkan duit buat pergi ke teaternya, buat beli tiketnya, belum makannya kalau kelaparan sebelum atau sekelar nonton. Untungnya, gue orang yg sangat-sangat pemilih untuk film bioskop jadi dana yg keluar pun tidak banyak. Belum tentu juga lho dalam sebulan gue pergi nonton ke bioskop. Jangan-jangan bisa kehitung jari tangan berapa kali perginya?! Tapi kondisi ini bisa berubah begitu gue tahu ada Jiffest. Dalam beberapa kali penyelenggaraan Jiffest, yg terjadi biasanya angka hitungan ke bioskop langsung melambung. Bisa 15-20 kali. Itu terjadi saat Jiffest awal, belakangan sih karena kerjaan turun juga angkanya. Kemarin saja, gue hanya sempat menonton 6 film. Apa daya, tempat kerja lagi lucu-lucunya di barat Jakarta sementara lokasi tontonan paling dekat hanya di Jl. Thamrin, yg bisa dijamin macet bila mengarah ke sana di sore hari.
Gue sangat menyadari bahwa gue punya hobi nonton.
Pilihan tema tontonan biasanya cukup beragam, terutama pada saat Jiffest berlangsung. Ini karena banyak film yg layak juga direkomendasi teman yg sayang untuk dilewatkan kalau cuma mengikuti pilihan diri sendiri. Karenanya, gue bisa saja nonton film perang, film yg lumayan absurd dari segi cerita, film dokumenter, film pendek, film animasi atau dari genre film lainnya. Buat gue ini untungnya nonton Jiffest, bisa nonton berbagai film mancanegara yg belum tentu diputar di jaringan 21 dan punya pilihan di luar film Amerika. Kalau menonton film dengan tema pilihan sendiri sih artinya memilih film dengan nuansa drama, petualangan yg ada unsur sejarahnya dan komedi -yg gak-slapstick-dan-norak-jorok-gak-jelas-juntrungan.
Menonton film bertema drama sebenarnya cukup beresiko buat gue. Kenapa coba gue bilang begitu? Hmm, begini alasannya. Gue suka gampang tersentuh (baca: nangis) kalau cerita filmnya ada unsur emosionalnya, bisa yg sedih atau yg bahagia. Ada film yg sampai saat ini gak berani gue tonton lagi karena saat pertama kali gue nonton aja udah bikin mata gue sembab habis. I am Sam, itu filmnya. Dan waktu Jiffest kemarin, As It Is in Heaven (film Swedia) sukses bikin gue bolak-balik mengusap mata sambil sok tenang bersikap biasa dan berharap gak ada orang yg ngeh dan ngeliatin gue yg nangis. Hehehe, cengeng banget....
<< Home